Transcription

BAB IIPRINSIP-PRINSIP HAK ASASI MANUSIADALAM HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONALA. Prinsip-Prinsip Hak Asasi ManusiaBeberapa prinsip telah mencakup hak-hak asasi manusia internasional. Prinsipprinsip tersebut pada umumnya terdapat di hampir semua perjanjian internasional dandiaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarangandiskriminasi dan kewajiban positif yang terletak pada setiap negara digunakan untukmelindungi hak-hak tertentu, tiga contoh di antaranya akan didiskusikan di sini.(1) Prinsip KesetaraanHal yang sangat fundamental dari hak asasi manusia pada jaman sekarang adalahide yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam hakasasi manusia.63(a) Definisi dan Pengujian KesetaraanKesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, di mana pada situasisama harus diperlakukan dengan sama, dan dengan perdebatan, di mana pada situasiyang berbeda diperlakukan dengan berbeda pula.(b) Tindakan Afirmatif (atau Diskriminasi Positif)Masalah muncul ketika seseorang berasal dari posisi yang berbeda dandiperlakukan secara sama. Jika perlakuan yang sama ini terus diberikan, maka tentusaja perbedaan ini akan terjadi terus menerus walaupun standar hak asasi manusia telahmeningkat. Karena itulah penting untuk mengambil langkah selanjutnya guna mencapaikesetaraan. Tindakan afirmatif mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebihkepada grup tertentu yang tidak terwakili. Misalnya, jika seorang laki-laki danperempuan dengan kualifikasi dan pengalaman yang sama melamar untuk perkerjaanyang sama, tindakan afirmatif dapat berupa mengizinkan perempuan untuk diterima63Lihat inter alia bab PBB.40

hanya dengan alasan lebih banyak laki-laki yang melamar di lowongan pekerjaantersebut. Sebagai tambahan, beberapa negara mengizinkan masyarakat adat untukmengakses pendidikan yang lebih tinggi dengan kebijakan-kebijakan yang membuatmereka diperlakukan secara lebih (favourable) dibandingkan dengan orang-orang nonadat lainnya dalam rangka untuk mencapai kesetaraan. Pasal 4 CEDAW dan 2 CERDadalah contohnya. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa tindakan afirmatif hanya dapatdigunakan dalam suatu ukuran tertentu hingga kesetaraan itu dicapai. Namun ketikakesetaraan telah tercapai, maka tindakan ini tidak dapat dibenarkan lagi.(2) Prinsip DiskriminasiPelarangan terhadap diskriminasi adalah salah satu bagian dari prinsip kesetaraan.Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif(selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan).(a) Definisi dan Pengujian DiskriminasiApakah diskriminasi itu? Pada efeknya, diskriminasi adalah kesenjanganperbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama/setara.(b) Diskriminasi Langsung dan Tidak LangsungDiskriminasi langsung adalah ketika seseorang baik langsung maupun tidaklangsung diperlakukan dengan berbeda (less favourable) daripada lainnya. Diskriminasitidak langsung muncul ketika dampak dari hukum atau dalam praktek hukum adalahbentuk dari diskriminasi, walaupun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan diskriminasi.Misalnya, pembatasan pada hak kehamilan jelas mempengaruhi lebih kepadaperempuan daripada kepada laki-laki.(c) Alasan DiskriminasiKarakteristik hukum hak asasi manusia internasional telah memperluas alasandiskriminasi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan beberapa asalandskriminasi antara lain ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politikatau opini lainnya, nasional atau kebangsaan, kepemilikan akan suatu benda (property),kelahiran atau status lainnya. Semua hal tersebut merupakan alasan yang tidak terbatas41

dan semakin banyak pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk didalamnya orientasi seksual, umur dan cacat tubuh.(3) Kewajiban Positif untuk Melindungi Hak-Hak TertentuMenurut hukum hak asasi manusia internasional, suatu negara tidak boleh san.Sebaliknyanegaradiasumsikan memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikanterpenuhinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan.(a) ArtiUntuk kebebasan berekspresi, sebuah negara boleh memberikan kebebasan dansedikit memberikan pembatasan. Satu-satunya pembatasan adalah suatu hal yangdikenal sebagai pembatasan-pembatasan (yang akan didiskusikan di bawah ini). Untukhak untuk hidup, negara tidak boleh menerima pendekatan yang pasif. Negara wajibmembuat suatu aturan hukum dan mengambil langkah-langkah guna melindungi secarapositif hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dapat diterima oleh negara. Karenaalasan inilah negara membuat aturan hukum melawan pembunuhan untuk mencegahaktor non negara (non state actor) melanggar hak untuk hidup. Sebagai persyaratanutama bahwa negara harus bersifat proaktif dalam menghormati hak untuk hidup danbukan bersikap pasif.(b) Beberapa ContohDi antara beberapa contoh yang paling umum adalah hak untuk hidup danpelarangan untuk penyiksaan. Negara tidak boleh mengikuti kesalahan negara lain yangmerampas hak individu untuk hidup atau pelarangan penyiksaan. Negara tidak bolehmembantu negara lain untuk menghilangkan nyawa seseorang atau melanggarpelarangan akan penyiksaan. Sebagaimana telah didiskusikan dalam bagian lain, hal inimengandung masalah bagi suatu negara ketika mempertimbangkan untuk menolakmengakui status pengungsi, mendeportasi orang-orang non nasional ataupun menyetujuipermintaan ekstradiksi.B. Sifat Mengikatnya Instrumen Hak Asasi Manusia42

Terdapat banyak cara bagi negara untuk menghindari pertanggungjawaban hukumhak asasi manusia, walaupun negara terkait telah meratifikasi perjanjian internasionalyang relevan. Bagian ini akan menjelaskan tiga contoh yakni derogasi yangdiaplikasikan ketika terdapat situasi darurat, reservasi yang membatasi kewajibankewajiban dalam perjanjian internasional dan beberapa pembatasan perjanjianinternasional yang berlaku bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan tertentu.(1) DerogasiJika suatu negara memasukkan derogasi dalam hukumnya, hal ini akan membuatnegara menghindari tanggung jawabnya secara hukum atas pelanggaran hak asasimanusia tertentu. Namun terdapat beberapa hak yang tidak dapat disimpangi ataudiderogasi (non derogable) dan beberapa instrumen-pun tidak mengizinkan adanyaderogasi.64(a) Apa yang dimaksud dengan derogasi?Derogasi adalah “pengecualian”, yaitu suatu mekanisme di mana suatu negaramenyimpangi tanggung jawabnya secara hukum dikarenakan adanya situasi yangdarurat. Umumnya suatu negara harus mendaftarkan derogasinya kepada badan pusat -persyaratan-persyaratan yang membolehkan derogasi telah ditentukan di dalamperjanjian internasional. Hal ini adalah klausul derogasi yang dimuat dalam KovenanInternasional tentang Hak Sipil dan Politik.Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa:(1) Dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa danterdapatnya keadaan darurat tersebut telah diumumkan secara resmi, NegaraPihak pada Kovenan ini dapat mengambil tindakan untuk mengurangikewajiban mereka menurut Kovenan ini, sejauh yang sungguh-sungguhdiperlukan oleh tuntutan situasi, dengan ketentuan bahwa tindakan tersebuttidak bertentangan dengan kewajiban lain Negara Pihak menurut hukuminternasional dan tidak menyangkut diskriminasi yang semata-mata didasarkanatas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.(2) Penyimpangan terhadap Pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 tidakboleh dilakukan menurut ketentuan ini.(3) Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini yang menggunakan hak untukmelakukan penyimpangan harus segera memberi tahu Negara Pihak lainnya64Piagam Afrika, contohnya, tidak mengizinkan adanya derogasi.43

dengan perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ketentuanyang terhadapnya dilakukan penyimpangan dan alasan yang mendorongdilakukannya penyimpangan itu. Komunikasi lebih lanjut harus dilakukan,melalui perantaraan yang sama, tentang tanggal diakhirinya penyimpangankewajiban itu.Pada umumnya perjanjian internasional juga memiliki ketentuan yang samatentang derogasi, sama dengan yang ditentukan dalam Kovenan Internasional tentangHak Sipil dan Politik.(b) Alasan DerogasiAlasan yang boleh digunakan sebagai dasar diizinkannya derogasi adalah suatukeadaan darurat yang esensial dan mengancam kelanjutan dari suatu negara, ancamanesensial terhadap keamanan nasional dan disintegrasi dari kehidupan suatu negara.Perang saudara dan bencana alam (seperti tsunami) dapat membenarkan adanyaderogasi. Walaupun begitu, derogasi hanya dapat digunakan untuk hak-hak dankebebasan-kebebasan yang telah ditentukan. Suatu negara dapat menggunakan derogasiuntuk satu hal tertentu, misalnya penahanan tersangka daripada menghormati hak asasimanusia secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh adanya praduga bahwa bahwa hakasasi manusia harus tetap diterapkan sejauh mungkin. Bentuk paling kontroversial daripenggunaan derogasi adalah untuk Undang-Undang Anti-Terorisme. Banyak kasusyang dibawa ke Pengadilan HAM Eropa menyangkut hak Inggris dan Turki untukmembatasi hak penahanan tersangka kasus terorisme. Walaupun badan-badaninternational memberikan ruang penilaian (margin of appresiasion atau diskresi) untukmenentukan ‘bentuk ancaman’ terhadap keamanan nasional, penggunaan derogasimeningkat pesat sehingga menuntut badan-badan pemantau internasional untukmereview derogasi tersebut. Inggris telah dikritik selama puluhan tahun atas derogasiberkenaan dengan penahanan terhadarp orang-orang yang dicurigai sebagai anggotaIRA di Irlandia utara. Kekhawatiran lain yang selalu muncul ke permukaan adalahtentang derogasi umum yang dilakukan berbagai negara dalam proses legislasi antiterorisme setelah serangan World Trade Centre (WTC) di New York dan PentagonWashington pada 11 September 2001 di Amerika Serikat.(c) Efek Derogasi44

Derogasi memiliki efek bagi suatu negara untuk dapat meloloskan diri daripelanggaran terhadap bagian tertentu suatu perjanjian internasional. Derogasi yang sahatas penahanan dengan demikian berarti bahwa tidak ada satu pun individu yang dapatmengajukan pengaduan terhadap negara atas penahanan yang tidak sesuai denganhukum dan tidak ada badan pemantau international yang dapat menyelidiki kesahihanpenahanan yang dilakukan oleh negara yang bersangkutan.(2) Reservasi(a) Apa yang merupakan Reservasi?MengutipPasal 2 ayat (1) huruf (d) Vienna Convention tentang HukumPerjanjian tahun 1969 (yang mengkodifikasikan dan memajukan Hukum PerjanjianInternasional), ‘‘reservasi” adalah pernyataan unilateral, bagaimanapun dirumuskanatau dinamakan, dibuat oleh sebuah negara, ketika menandatangani, meratifikasi,menerima, menyetujui atau mengaksepsi suatu perjanjian internasional, di mana padanegara tersebut bermaksud mengecualikan atau memodifikasi efek legal dari ketentuantertentu dalam perjanjian internasional yang akan diaplikasikan di negara tersebut.Negara harus melakukan reservasi ketika meratifikasi satu perjanjian internasional.Reservasi diberitahukan kepada seluruh negara pihak -dan negara-negara ini dapatmenyatakan keberatannya jika reservasi dinilai tidak sesuai dengan objek dan tujuandari perjanjian internasional.Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yangmenggunakan istilah ‘pensyaratan’ sebagai padanan bahasa Indonesia istilah bahasaInggris ‘reservation’ mendefinisikan istilah itu sebagai ‘pernyataan sepihak suatunegara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjianinternasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima,menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral’(Pasal 1 angka 5). Penggunaan istilah ‘pensyaratan’, yang berarti ‘penetapan syarat’sebagai padanan istilah ‘reservation’ sesungguhnya menyesatkan, karena ‘makingreservation or reservations’ (membuat reservasi) bukan berarti ‘setting a condition orconditions’ (menetapkan syarat atau syarat-syarat). Oleh karena itu, meskipun istilah‘pensyaratan’ sudah merupakan istilah undang-undang, namun karena istilah inimerancukan maksud istilah padanannya dalam bahasa Inggris, lebih baik apabila istilah45

‘reservation’ digunakan padanan bahasa Indonesia ‘reservasi’, meskipun istilah inisendiri masih harus dibakukan.Setiap negara pada waktu menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui,atau mengaksesi perjanjian internasional dapat membuat reservasi, kecuali dalam halhal berikut: (a) reservasi secara eksplisit dinyatakan dilarang oleh perjanjianinternasional yang bersangkutan untuk keseluruhan atau ketentuan tertentu dariperjanjian internasional yang bersangkutan; (b) perjanjian internasional yangbersangkutan menetapkan bahwa hanya reservasi khusus dapat dibuat; dan (c) reservasitidak sesuai dengan sasaran dan maksud perjanjian internasional yang bersangkutan(lihat: Pasal 19 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional, 1969).Indonesia, selama ini, selalu membuat reservasi terhadap ketentuan perjanjianinternasional yang diratifikasi atau diaksesinya yang mengatur penyelesaian perselisihanyang disebabkan oleh perbedaan penafsiran dan penerapan perjanjian internasional yangbersangkutan dengan menyatakan bahwa, esensinya, hanya bersedia menyelesaikanperselisihan demikian melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice)(ICJ) apabila perselisihan itu tidak dapat diselesaikan melalui perundingan atau prosesnonyudisial lain yang ditetapkan oleh perjanjian internasional yang bersangkutandengan ketentuan bahwa perujukan ke Mahkamah Internasional hanya dapat dilakukanatas persetujuan semua pihak dalam perselisihan. Reservasi demikian dibuat olehIndonesia, antara lain, pada Pasal 22 Konvensi Internasional tentang PenghapusanSegala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of AllForm of Racial Discrimination) (ICERD), 1965, Pasal 29 ayat (1) Konvensi tentangPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on theElimination of All Forms of Discrimination against Women) (ICEDAW), 1979, danPasal 30 ayat (1) Konvensi tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lainyang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (Convention againstTorture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) (CAT),1984.Sebagai contoh, berikut bunyi reservasi terhadap Pasal 22 Konvensi Internasionaltentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965 sebagaimana tercantumdalam Lampiran Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang pengesahan Konvensitersebut dan yang kemudian dituangkan dalam Piagam Aksesi yang bersangkutan serta46

terhadap Pasal 30 ayat (1) Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atauPenghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat, 1984,sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentangPengesahan konvensi tersebut dan yang kemudian dituangkan dalam Piagam Ratifikasiyang bersangkutan.(i) tangPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965Pemerintah Indonesia menyatakan tidak terikat pada ketentuan Pasal 22Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk DiskriminasiRasial 1965 dan berpendirian bahwa apabila terjadi persengketaan akibatperbedaan penafsiran atau penerapan isinya yang tidak terselesaikan melaluisaluran sebagaimana diatur dalam pasal tersebut, dapat menunjuk MahkamahInternasional hanya berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa.‘Reservation to Article 22 [of the] International Convention on theElimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965:The Government of the Republic of Indonesia does not consider itselfbound by the provision of Article 22 and takes the position that disputesrelating to the interpretation and applicaton of the International Conventionon the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 which can notbe settled through the channel provided for in the said Article, may be referredto the International Court of Justice only with the consent of all parties to thedisputes’);(ii) Deklarasi terhadap Pasal 20 dan Pensyaratan terhadap Pasal 30 ayat (1)Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lainyang Kejam, Tidak Manusiawi, dan [atau] Merendahkan MartabatManusiaPemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak terikat pada ketentuanPasal 30 ayat (1) Konvensi dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihanakibat perbedaan penafsiran atau penerapan isi Konvensi yang tidakterselesaikan melalui jalur sebagaimana diatur dalam ayat (1) pasal tersebut,dapat menunjuk Mahkamah Internasional yang berdasarkan kesepakatan paraPihak yang berselisih’.47

‘Declaration to Article 20 and Reservation to Article 20, and Reservationto Article 30, Paragraph 1 [of the] Convention against Torture dan OtherCruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment:Reservation:The Government of the Republic of Indonesia does not consider itselfbound by the provision of Article 30, paragraph 1, and takes the position thatdisputes relating to the interpretation and application of the Convention whichcan not be settled through the channel provided for in paragraph 1 of the saidarticle, may be referred to the International Court of Justice only with theconsent of all parties to the disputes’).Di depan dikemukakan bahwa reservasi tidak dapat dibuat, antara lain, apabilaperjanjin internasional yang bersangkutan secara eksplisit melarang dibuatnya reservasiterhadap perjanjian internasional yang bersangkutan secara keseluruhan atau terhadapketentuan-ketentuan tertentu perjanjian internasional tersebut. Perjanjian internasionalyang secara eksplisit melarang dibuatnya reservasi terhadap keseluruhan perjanjianinternasional yang bersangkutan dapat disebut, antara lain, Konvensi Tambahan tentangPenghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga dan Praktik yang Samadengan Perbudakan (Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the SlaveTrade, and Institutions and Practices Similar to Slavery), 1956 (lihat: Pasal 9) danStatuta Mahkamah Pidana Internasional (Statute of the International Criminal Court),1998, yang terkenal dengan singkatannya ‘Statuta Roma’ (The Rome Statute), karenaperjanjian internasional ini dibuat di Roma (lihat: Pasal 120).Sejumlah perjanjian internasional lainnya, terutama yang berkaitan dengan hakasasi manusia dan kebebasan fundamental sama sekali tidak memuat ketentuan tentangreservasi, seperti Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya(KIHESB) atau International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights(ICESCR), 1966 dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) atauInternational Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), 1966. Kebanyakanperjanjian internasional memuat ketentuan eksplisit tentang diperbolehkannyapembuatan reservasi dan menunjuk ketentuan-ketentuan tertentu yang tidak bolehdireservasi, seperti Konvensi mengenai Status Pengungsi (KSP) (Convention relating tothe Status of Refugees) (CSR), 1951 (lihat: Pasal 42) dan Protokol mengenai Status48

Pengungsi (PSP) (Protocol relating to the Status of Refugees) (PSR), 1967 (lihat PasalVII), atau hanya menyatakan bahwa atau secara implisit membuka kemungkinandibuatnya reservasi serta dengan menentukan bahwa reservasi yang tidak sesuai dengansasaran dan maksud perjanjian internasional yang bersangkutan dilarang, sepertiKonvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan KeluargaMereka (KIPM) (International Convention on the Protection of the Rights of AllMigrant Workers and Their Families) (ICMW), 1990 (lihat: Pasal 91).(b) Akibat ReservasiEfek reservasi adalah membatasi tanggung jawab suatu negara--reservasi yang sahberarti bahwa suatu negara tidak terikat dengan pasal ataupun ayat tertentu dari suatuperjanjian internasional. Tidak seorang pun dapat menggugat negara terhadap ketentuanini, walaupun badan-badan pemantau perjanjian internasional biasanya meminta negarauntuk mempertimbangkan penarikan kembali reservasi perjanjian internasional.(3) DeklarasiAkhirnya, deklarasi dapat dibuat oleh negara-negara. Walaupun biasanyamengindikasikan pemahaman nasional dari sebuah hak (misalnya, bahwa hak untukhidup mulai setelah lahir), beberapa negara menggunakan istilah deklarasi ketika efekdari satu tindakan adalah reservasi.Misalnya deklarasi yang dilakukan oleh Yordania pada ratifikasi Konvensi tentangPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Yordania tidakmenganggap dirinya terikat pada ketentuan-ketentuan berikut:1. Pasal 9 ayat (2);2. Pasal 15 ayat (4) ( tempat tinggal istri adalah sama dengan suaminya);3. Pasal 16 ayat (1) huruf (c), mengenai dengan hak-hak yang timbul daripembukaan perkawinan yang berkenaan dengan perawatan dan kompensasi.4. Artikel 16, ayat (1) (d) dan (g)”.Deklarasi ini jelas adalah sebuah reservasi-suatu tes untuk menentukan objek danjuga efek dari tindakan, terlepas dari istilah yang disebarkan.Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional, 1969, tidak memuat ketentuantentang ‘deklarasi’ terhadap suatu perjanjian internasional multilateral, dan karenanya,49

tidak pula memuat secara khusus pengertian istilah tersebut. Oleh karena itu, suatupernyataan, yang meskipun menggunakan nama ‘deklarasi’, apabila pernyataan itumenunjukkan kehendak suatu negara untuk meniadakan atau memodifikasi akibathukum ketentuan tertentu, perjanjian internasional tersebut pada waktu negara yangbersangkutan menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesiperjanjian internasional yang bersangkutan, maka pernyataan demikian, walaupundinamakan ‘deklarasi’, pada hakikatnya, adalah sutau ‘reservasi’ sebagaimana dimaksuddalam Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional, 1969. Sepanjang suatupernyataan dengan nama ‘deklarasi’ tidak menunjukkan kehendak suatu negarasebagaimana tersebut di depan maka pernyataan demikian, yang diberi judul ‘deklarasi’,merupakan deklarasi dalam arti umum, bukan deklarasi sebagai istilah hukum perjanjianinternasional menurut Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional, 1969.Beberapa perjanjian internasional memuat ketentuan yang memungkinkan negarauntuk menyampaikan deklarasi yang menyatakan bahwa negara tersebut memperluasberlakunya perjanjian internasional yang bersangkutan ke wilayah yang hubungan luarnegerinya menjadi tanggung jawab negara tersebut, pada saat menandatangani,meratifikasi, atau mengaksesi perjanjian internasional yang bersangkutan (lihat,misalnya: Pasal 40 ayat 1 Konvensi mengenai Status Pengungsi, 1951, Pasal 36 ayat 1Konvensi mengenai Status Orang Tanpa Kewarganegaraan 1954, dan Pasal 7 ayat mikianmemangdimungkinkan, bahkan dikehendaki pembuatannya oleh perjanjian internasional yangbersangkutan dan untuk maksud yang jelas pula sebagaimana diatur di muatketentuanyangmemungkinkan negara pihak padanya, setiap waktu, untuk membuat deklarasi yangmengakui kewenangan badan pemantau pelaksanaan perjanjian internasional yangbersangkutan (treaty body) menerima dan membahas komunikasi dari perseoranganatau kelompok individu yang mengklaim sebagai korban pelanggaran hak asasi yangdisebut dalam perjanjian internasional yang bersangkutan yang dilakukan oleh negarapihak tersebut (lihat, misalnya Pasal 14 Konvensi Internasional tentang PenghapusanSegala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965). Selain itu, terdapat juga perjanjianinternasional yang memungkinkan negara pihak untuk membuat deklarasi, kapan internasionalyang50

bersangkutan untuk menerima dan membahas komunikasi di mana suatu negara pihakmengklaim bahwa suatu negara pihak lain tidak memenuhi kewajibannya menurutperjanjian internasional tersebut (lihat, misalnya Pasal 41 Kovenan Internasional tentangHak Sipil dan Politik, 1966 dan Pasal 21 Konvensi Menentang Penyiksaan danPerlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau MerendahkanMartabat, 1984).Apakah akibat hukum deklarasi yang dibuat oleh suatu negara pada waktumenandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi pada suatuperjanjian internasional, yang tidak dapat dianggap sebagai reservasi karena isinya,stricto sensu, tidak dapat dianggap sebagai meniadakan atau memodifikasi akibathukum ketentuan tertentu perjanjian internasional yang bersangkutan dalampenerapannya bagi negara pembuat deklarasi tersebut ?Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, kemungkinan pembuatan deklarasiseperti diatas tidak diatur dalam Konvensi Wina tentang Hukum PerjanjianInternasional, 1969.Meskipun demikian Indonesia menganggap berhak membuatdeklarasi demikian dan posisi ini tercermin dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun2000 tentang Perjanjian Internasional, khususnya Pasal 1 angka 6 yang menetapkandefinisi istilah ‘pernyataan’ (‘declaration’) sebagai ‘pernyataan sepihak suatu negaratentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjianinternasional yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, ataumengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, guna memperjelasmakna ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dankewajiban negara dalam perjanjian internasional. Ketentuan yang tercantum dalamperaturan perundang-undangan nasional ini merupakan pengukuhan menurut hukumnasional pendirian Indonesia yang sudah dianut sebelumnya. Sebagai contoh dapatdilihat, antara lain, ‘pernyataan’ (‘declaration’) yang dibuat oleh Indonesia ketikameratifikasi Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lainyang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, 1984 yang berbunyisebagai berikut:Pernyataan : Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ketentuan Pasal20 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Konvensi akan dilaksanakan dengan memenuhiprinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah suatau negara’.51

‘Declaration : The Government of the Republic of Indonesia declares that theprovisions of paragraphs 1, 2 and 3 of Article 20 of the Convention will have to beimplemented in strict compliance with the principles of the sovereignty and territorialintegrity of States’.Pernyataan tersebut dicantumkan dalam lampiran Undang-Undang Nomor 5Tahun 1998 yang mengesahkan konvensi tersebut diatas yang diundangkan pada 28September 1998, jadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000tentang Perjanjian Internasional pada 23 Oktober 2000 (dan yang kemudian dituangkandalam Piagam Ratifikasi yang bersangkutan yang diserahkan kepada Sekretaris JenderalPerserikatan Bangsa-Bangsa sebagai lembaga penyimpan konvensi tersebut diatas).Posisi yang sama diambil oleh Indonesia selaras dengan ketentuan Pasal 1 angka 6Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional pada waktumengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, 1966 (UndangUndang Nomor 12 Tahun 2005). Pernyataan tersebut berbunyi, masing-masing, sebagaiberikut:(a) ‘Pernyataan terhadap Pasal 1 Kovenan Internasional tentang HakEkonomi, Sosial dan BudayaMerujuk Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial danBudaya, Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa, sejalan denganDeklarasi mengenai Pemberian Kemerdekaan Kepada Negara dan Rakyat Terjajah,dan Deklarasi Tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional Mengenai HubunganPersahabatan dan Kerjasama Antar Negara, serta pasal-pasal terkait dari Deklarasidan Program Aksi Wina 1993, istilah ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’sebagaimana yang tercantum dalam pasal ini tidak berlaku untuk bagian rakyatdalam suatu negara merdeka yang berdaulat dan tidak dapat diartikan sebagaimensahkan atau mendorong tindakan-tindakan yang akan memecah belah ataumerusak, seluruh atau sebagian, dari integritas atau kesatuan wilayah politik darinegara yang berdaulat dan merdeka’.Declaration to Article 1 of the International Covenant on Economic, Socialand Cultural Rights:With reference to Article 1 of the International Covenant on Economic, Socialand Cultural Rights, the Government of the Republic of Indonesia declares that,52

consistent with the Declaration on the Granting of Independence to ColonialCountries and Peoples, and the Declaration on Principles of International Lawconcerning Friendly Relations and Cooperation Among States, and the relevantparagraph of the Vienna Declaration and Program of Action of 1993, the words‘the right of self-determination’ appearing in this article do not apply to a section ofpeople within a sovereign independent state and can not be construed asauthorizing or encouraging any action which would dismember or impair, totally orin part, the territorial integrity of political unity of sovereign and independentstates’.);(b) Pernyataan terhadap Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil danPolitikMerujuk Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa, sejalan dengan Deklarasimengenai Pemberian Kemerdekaan Kepada Negara dan Rakyat Terjajah, danDeklarasi Tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional Mengenai HubunganPersahabatan dan Kerjasama Antar Negara, serta pasal-pasal terkait dari Deklarasidan Program Aksi Wina 1993, istilah ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’sebagaimana yang tercantum pada pasal ini tidak berlaku untuk bagian rakyat dalamsuatu negara merdeka yang berdaulat dan tidak dapat diartikan sebagai mensahkanatau mendorong tindakan-tindakan yang akan memecah belah atau merusak, seluruhatau sebagian, dari integritas wilayah atau kesatuan politik dari negara yangberdaulat dan merdeka.Declaration to Article 1 of the International Covenant on Civil and PoliticalRights:With reference to Article 1 of the International Covenant on Civil and PoliticalRights, the Government of the Republic of Indonesia declares that, consistent withthe Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries andPeoples, and the Declaration on Principles of International Law concerningFriendly Relations and Coo

Internasional), ‘‘reservasi” adalah pernyataan unilateral, bagaimanapun dirumuskan atau dinamakan, dibuat oleh sebuah negara, ketika menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengaksepsi suatu perjanjian internasional, di mana pada