
Transcription
BAB VIIPEMBANGUNAN PENDIDIKANA.UMUMPendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melaluikegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akandatang. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999–2004 mengamanatkanbahwa salah satu arah kebijakan pembangunan pendidikan adalah mengupayakanperluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggibagi seluruh rakyat Indonesia. Sasaran yang harus dicapai pada tahun 2004 menurutPropenas 2000–2004 adalah: (a) angka partisipasi kasar (APK) sekolah dasar danmadrasah ibtidaiyah (SD-MI) yaitu rasio jumlah siswa SD-MI terhadap pendudukusia 7–12 tahun sebesar 120,7 persen, (b) APK sekolah lanjutan tingkat pertama danmadrasah tsanawiyah (SLTP-MTs) atau rasio jumlah siswa SLTP-MTs terhadapjumlah penduduk usia 13–15 tahun sebesar 78,9 persen, (c) APK sekolah lanjutantingkat atas (SLTA) atau rasio antara jumlah siswa SLTA (yang terdiri dari sekolahmenengah umum (SMU), sekolah menengah kejuruan (SMK) dan madrasah aliyah(MA) terhadap jumlah penduduk usia 16–18 tahun sebesar 42,3 persen, dan (d) APKpendidikan tinggi yaitu rasio jumlah mahasiswa terhadap jumlah penduduk usia 19–24 tahun sebesar 15 persen.Arah kebijakan peningkatan perluasan dan pemerataan pendidikandilaksanakan melalui antara lain penyediaan fasilitas layanan pendidikan berupapembangunan unit sekolah baru; penambahan ruang kelas dan penyediaan fasilitaspendukungnya; penyediaan berbagai pendidikan alternatif bagi masyarakat yangmembutuhkan perhatian khusus; serta penyediaan berbagai beasiswa dan bantuandana operasional sekolah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkanperan aktif masyarakat. Upaya tersebut telah meningkatkan partisipasi pendidikandari keadaan tahun ajaran 1999/2000 sampai tahun ajaran 2002/2003 untuk setiapjenjang pendidikan. Sampai dengan tahun ajaran 2002/2003 secara nasional angkapartisipasi kasar (APK) sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (SD-MI) telahmeningkat menjadi 113,95 dari 111,97 persen di tahun ajaran 1999/2000. Denganterus ditingkatkannya akses dan daya tampung pelayanan pendidikan jenjang SLTPMTs melalui Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) SembilanTahun, angka melanjutkan lulusan SD-MI meningkat dari 80,18 persen pada tahunajaran 1999/2000 menjadi 82,87 persen pada tahun 2002/2003. Dengan peningkatanangka melanjutkan tersebut jumlah siswa SLTP-MTs meningkat dari 9,39 juta padatahun 1999/2000 menjadi 9,58 juta pada tahun 2002/2003. Dengan demikian APKSLTP-MTs pada tahun ajaran 2002/2003 menjadi 75,27*) yang berarti meningkat darikeadaan tahun ajaran 1999/2000 yaitu 71,67 persen. Meskipun APK meningkatsecara berarti, angka tersebut masih cukup jauh dari pencapaian sasaran tahun 2004.Dengan perkiraan jumlah penduduk usia 13–15 tahun sebesar 12,50 juta pada tahun2004 maka pada tahun 2004 harus terjadi peningkatan jumlah murid menjadi sebesar10,17 juta orang.Program Wajar Dikdas 9 Tahun telah berhasil meningkatkan jumlah lulusanSLTP-MTs per tahun secara signifikan dalam empat tahun terakhir yaitu dari 2,78juta orang menjadi 2,89 juta orang. Hal tersebut lebih lanjut berdampak padaVII – 1
meningkatnya jumlah lulusan SLTP-MTs yang melanjutkan ke jenjang yang lebihtinggi. Apabila pada tahun ajaran 1999/2000 jumlah murid baru sebanyak 1,86 jutaorang, pada tahun ajaran 2002/2003 jumlahnya menjadi 2,1 juta orang. Penambahantersebut meningkatkan jumlah seluruh siswa SLTA menjadi 5,96 juta orang,sehingga APK SLTA juga meningkat dari 39,25 persen menjadi 44,45*) persen. APKtersebut telah melampaui sasaran yang direncanakan dicapai pada tahun 2004 yaitusebesar 42,3 persen.Pada kurun waktu yang sama jumlah mahasiswa meningkat dari 3,23 jutapada tahun ajaran 1999/2000 menjadi 3,72 juta pada tahun ajaran 2002/2003.Penambahan jumlah mahasiswa tersebut berhasil meningkatkan APK pendidikantinggi dari 12,79 persen menjadi 14,09*) persen.Lebih lanjut terungkap bahwa meskipun secara nasional angka partisipasipendidikan meningkat dari waktu ke waktu, namun jika dilakukan perbandinganantarprovinsi, antarwilayah perdesaan dan perkotaan, serta antarkelompokpengeluaran keluarga terlihat adanya kesenjangan yang cukup besar antarkelompoktersebut. Partisipasi pendidikan khususnya jenjang SLTP-MTs keatas masihmenunjukkan keragaman yang cukup besar antarprovinsi. Partisipasi pendidikanpenduduk yang tinggal di daerah perkotaan secara umum juga lebih baikdibandingkan penduduk perdesaan. Lebih lanjut penduduk yang memiliki statusekonomi lebih tinggi memiliki angka partisipasi sekolah yang lebih tinggi dibandingdengan penduduk miskin yang secara rinci ditunjukkan pada Tabel 1. Ditinjau dariakses pendidikan, partisipasi pendidikan antara penduduk laki-laki dan perempuanmasih menunjukkan kesenjangan terutama pada jenjang pendidikan SLTA keatas.Disamping itu penjurusan pada pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan tinggimenunjukkan masih terdapat stereotipi dalam sistem pendidikan di Indonesia yangmengakibatkan tidak berkembangnya pola persaingan sehat menurut gender.Tabel 1.Angka Partisipasi Sekolah Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Usiadan Kelompok Pengeluaran Keluarga, 2002Kelompok 13-15 TahunKelompok 16-18 TahunKelompok 7-12 ,49Keterangan : Perlimaan-1 adalah 20% anak termiskin dan perlimaan-5 adalah 20% anak terkayaTingkatPengeluaranSumber : SUSENAS, 2002Berdasarkan kondisi tersebut, upaya peningkatan perluasan dan pemerataanpendidikan harus memperhatikan keragaman yang ada sehingga intervensi yangdilakukan benar-benar dapat meningkatkan partisipasi pendidikan secara adilterutama bagi kelompok penduduk yang saat ini partisipasi pendidikannya masihrendah.*)Angka sementaraVII – 2
Melalui jalur pendidikan luar sekolah terus pula dikembangkan upaya untukmemberikan pelayanan bagi masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikanformal, dan yang putus sekolah. Pendidikan luar sekolah antara lain diberikanmelalui Kelompok Belajar (Kejar) Paket A, Paket B, dan Paket C serta kursuskursus. Kejar Paket A dan Paket B dilaksanakan baik bagi kelompok penduduk usiasekolah sebagai pendidikan alternatif terhadap pelaksanaan Program Wajar Dikdas 9Tahun maupun penduduk usia dewasa sebagai bagian dari pendidikan sepanjanghayat. Pendidikan keaksaraan fungsional diberikan bagi penduduk dewasa untukmeningkatkan kemampuan keaksaraan mereka yang dikaitkan dengan kebutuhanfungsional dalam kehidupan sehari-hari seperti ketrampilan vokasional. Sementaraitu kursus-kursus yang dilakukan ditujukan terutama untuk memberi ketrampilanbagi warga belajar sehingga memiliki kemampuan yang memadai untuk bekerja.Peningkatan partisipasi pendidikan melalui sistem persekolahan danpendidikan luar sekolah telah meningkatkan proporsi penduduk melek aksara. DataSUSENAS tahun 2002 menunjukkan bahwa penduduk usia 15 tahun keatas yangmelek aksara sudah mencapai 89,51 persen. Lebih lanjut terungkap bahwa angkamelek aksara penduduk usia 15 tahun keatas di perdesaan (85,75 persen) masih jauhlebih rendah dari kondisi di perkotaan yang sudah mencapai 94,06 persen.Keragaman juga terjadi antara penduduk laki-laki dan perempuan dengan angkamelek aksara berturut-turut sebesar 93,46 persen dan 85,66 persen. Keragamantingkat keaksaraan juga terjadi antarkelompok pengeluaran penduduk dengan tingkatkeaksaraan lebih tinggi pada penduduk yang memiliki status ekonomi lebih baik.Gambar 1 menggambarkan angka melek aksara penduduk usia 15 tahun keatas yangdibedakan menurut jenis kelamin dan tempat tinggal. Disamping itu keragamanangka buta aksara antarprovinsi juga masih cukup besar dengan kisaran antara yangpaling rendah yaitu di Sulawesi Utara (1,17 persen) sampai yang paling tinggi yaitudi Nusa Tenggara Barat (19,08 persen). Disamping itu permasalahan buta aksaramenjadi lebih berat karena penduduk yang saat ini masih buta aksara merupakankelompok tersulit (hard core) yang pada umumnya berusia lanjut, perempuan,miskin, dan tinggal di daerah perdesaan.GBHN 1999–2004 mengamanatkan agar pembangunan pendidikan diarahkanpula untuk mengembangkan kualitas sumberdaya manusia sedini mungkin secaraterarah, terpadu dan menyeluruh. Sangat disadari bahwa usia dini merupakan masaperkembangan dan pertumbuhan yang sangat menentukan bagi perkembangan padatahap berikutnya. Dengan demikian pembinaan anak sejak dini dapat memperbaikiprestasi belajar dan meningkatkan produktivitas kerja di masa dewasa. Stimulasi dinipada masa golden age sangat diperlukan untuk memberikan rangsangan terhadapseluruh aspek perkembangan anak yang mencakup penanaman nilai-nilai dasar,pembentukan sikap dan pengembangan kemampuan dasar. Di Indonesia, pendidikanusia dini dilakukan melalui antara lain pendidikan di taman kanak-kanak (TK),Kelompok Bermain, dan Raudhatul Atfhal (RA).VII – 3
Gambar 1. Angka Melek Aksara Penduduk Usia 15 Tahun Keatas Menurut JenisKelamin, Tempat Tinggal dan Kelompok Pengeluaran Keluarga, anPerlimaan-3Perlimaan-4Perlimaan-5Sumber : SUSENAS 2002.Berdasarkan data tahun 2001 diketahui bahwa dari sekitar 26,26 juta anakusia 0–6 tahun yang telah memperoleh layanan perawatan dan pendidikan dini usiamelalui berbagai program baru sekitar 7,20 juta anak (27.5 persen). Sementara ituanak usia enam tahun kebawah yang telah mengikuti pendidikan di jenjang sekolahdasar sebanyak 2,95 juta. Dengan demikian masih ada sekitar 61,34 persen anak usiadini atau 16,11 juta anak yang belum memperoleh layanan pendidikan danperawatan. Jika kelompok usia pra-sekolah yaitu 4–6 tahun, dilihat secara seksamamaka pendidikan TK dan setara baru mencakup 13,27 persen atau 1,75 juta dariseluruh anak kelompok usia tersebut. Selanjutnya bila cakupan pelayanan ditinjaupada tingkat provinsi terungkap bahwa partisipasi pendidikan anak dini usia masihberagam antarprovinsi yaitu dengan kisaran 12 persen di Nusa Tenggara Timur dan52 persen di provinsi Yogyakarta.Disamping upaya memperluas akses dan pemerataan pendidikan, peningkatankualitas pendidikan juga terus mendapat perhatian besar. Kemampuan akademik danprofesional serta jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan terus ditingkatkan.Pendidikan lanjutan serta pendidikan dan latihan jangka pendek terus dilaksanakanbaik untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan maupun untukmeningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengajar menurut bidang studi.Berbagai pendidikan dan pelatihan yang dilakukan telah meningkatkan jumlah guruyang memenuhi kualifikasi pendidikan minimal, sehingga pada tahun 2002 proporsiguru SD yang berpendidikan Diploma 2 keatas menjadi 33,81 persen dan guru SLTPyang berpendidikan Diploma-3 keatas menjadi 67,5 persen. Meskipun demikian,kondisi tersebut belum mencukupi untuk menyediakan pelayanan pendidikan yangberkualitas. Bahkan untuk jenjang pendidikan SLTP-MTs dan SLTA-MA yangmenggunakan sistem guru mata pelajaran banyak pula terjadi ketidaksesuaian antarapelajaran yang diajarkan dengan latar belakang pendidikan guru. Untuk itudiperlukan jumlah dan kualitas pendidikan dan latihan bagi guru dan tenagakependidikan lainnya secara lebih memadai sehingga mereka mampumenyelenggarakan proses belajar mengajar yang lebih berkualitas. Untuk menjawabkurangnya jumlah guru pada semua jenjang pendidikan pada tahun 2003direncanakan untuk dikaryakan sebanyak 190 ribu guru untuk sekolah umum dan13,5 ribu guru untuk madrasah dan guru agama pada sekolah umum. Untukmeningkatkan kesejahteraan guru, pada tahun 2002 tunjangan kependidikan bagiVII – 4
guru telah pula ditingkatkan sebesar 50 persen. Selain itu telah disediakan pulaberbagai insentif bagi guru sekolah negeri dan swasta seperti tunjangan kelebihanjam mengajar dan bantuan khusus guru yang secara keseluruhan diharapkan dapatmendorong guru untuk tetap berkarya. Meskipun kualitas pendidikan yang masihbelum sepenuhnya baik, pada tahun 2002 Indonesia berhasil menjadi salah satu juaraOlympiade Fisika Internasional yang diikuti oleh 340 peserta dari 72 negara.Arah kebijakan pembangunan pendidikan untuk melakukan pembaharuansistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum berupa diversifikasi kurikulumuntuk melayani keragaman peserta didik dan potensi daerah, serta diversifikasi jenispendidikan secara profesional telah pula dilaksanakan. Penambahan jam pelajaranuntuk muatan lokal ditujukan untuk mengakomodasi keragaman kebutuhan disetiapwilayah meskipun pelaksanaannya masih belum optimal dan secara umum barudigunakan untuk pendidikan kesenian lokal dan bahasa daerah. Kurikulum berbasiskompetensi yang dikembangkan diharapkan dapat menjawab diversifikasi kebutuhanpembangunan. Reposisi pendidikan kejuruan terus dilakukan untuk lebih menjaminkesesuaian atau relevansi antara pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Bidangstudi-bidang studi yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunanterus direposisi menjadi bidang studi-bidang studi yang memiliki prospek yang baikdalam dunia kerja.Upaya melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasionalberdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen sebagai arahankebijakan pembangunan tahun 2000-2004 telah menjadi agenda utama dalampembangunan pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2002-2003 penyelesaianRancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUUSPN) sebagaipengganti UUSPN Nomor 2 Tahun 1989 terus dilakukan secara intensif denganmelibatkan partisipasi seluruh stakeholders idikan,pemerintahkabupaten/kota memiliki kewenangan yang lebih luas dalam membangun pendidikandi masing-masing wilayah sejak dalam penyusunan rencana, penentuan prioritasprogram serta mobilisasi sumberdaya untuk merealisasikan rencana yang telahdirumuskan. Sejalan dengan itu, otonomi pendidikan telah pula dilaksanakan melaluipenerapan manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi yangmemberikan wewenang yang lebih luas pada satuan pendidikan untuk mengelolasumberdaya yang dimiliki termasuk mengalokasikannya sesuai dengan prioritaskebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Danadekonsentrasi telah mulai diberikan langsung kepada satuan pendidikan dalambentuk block grant yang diharapkan dapat dikelola oleh setiap satuan pendidikandengan tetap menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipatif.Meskipun demikian sampai tahun 2003 sekolah yang melaksanakan manajemenberbasis sekolah masih sangat terbatas jumlahnya karena belum maksimalnyapemahaman dan kemampuan sumberdaya manusia pada satuan pendidikan.Dengan memperhatikan hasil pelaksanaan desentralisasi bidang pendidikansejak tahun 2001, upaya untuk menyelaraskan kebijakan dan program antarapemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota perlu terus dilakukan. Penetapanperan dan tanggungjawab yang lebih jelas masing-masing tingkat pemerintahan perlumendapat prioritas. Standar pelayanan minimal (SPM) perlu disusun untuk menjadiacuan penyediaan layanan pendidikan pada setiap kabupaten/kota dengan mengacupada pedoman penyusunan SPM bagi provinsi yang tercantum dalam KeputusanMenteri Pendidikan Nasional No. 053/U/2001 tentang Pedoman Penyusunan StandarVII – 5
Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar danMenengah.Pada jenjang pendidikan tinggi otonomi pendidikan dilaksanakan melaluipemberian wewenang yang lebih besar kepada perguruan tingi. Competitive basedfunding mechanism yang diterapkan dalam program pendidikan tinggi telahmendorong unit-unit di perguruan tinggi untuk terus meningkatkan kapasitasinstitusinya sehingga mampu bersaing dalam memperoleh berbagai sumberpembiayaan dari pemerintah. Competitive based funding mechanism yangpenerapannya diikuti dengan output based funding mechanism mendorong perguruantinggi menghasilkan output yang sebanding dengan pembiayaan yang diterimanya.Namun demikian sampai tahun 2003 pendidikan tinggi masih dihadapkan padabelum optimalnya pelaksanaan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara(PTBHMN) karena perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut belum diberikeleluasaan penuh dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki. Oleh karena ituupaya peningkatan mutu dan relevansi dalam proses belajar mengajar serta dalampelaksanaan penelitian dan pengabdian pada masyarakat sebagai pelaksanaan TriDharma Perguruan Tinggi belum dapat secara maksimal dilakukan.Dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi pendidikan, peran sertamasyarakat terus ditingkatkan. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor:044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah dikeluarkansebagai landasan hukum bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunanpendidikan. Dengan menggunakan pendekatan sukarela (voluntarily basis)kabupaten/kota didorong untuk membentuk dewan pendidikan yang dapat berperansebagai (a) pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakanpendidikan di tingkat kabupaten/kota; (b) pendukung baik secara finansial, pemikiranmaupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan, (c) pengontrol dalam penerapanprinsip transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan pengeluaran pendidikan,dan (d) mediator antara lembaga eksekutif, legislatif dan masyarakat dalampembangunan pendidikan. Sampai tahun 2003 kabupaten/kota yang telah memilikidewan pendidikan berjumlah 318 kabupaten/kota. Pada saat yang sama proporsisekolah yang memiliki komite sekolah juga terus meningkat.Peningkatan partisipasi masyarakat yang dilaksanakan di bidang pendidikantelah meningkatkan keterbukaan, akuntabilitas, dan efisiensi pembiayaan sebagaibagian dari penerapan good governance bidang pendidikan. Oleh karena itupartisipasi masyarakat perlu diperluas cakupannya sehingga masyarakat dapat pulamengawasi pembangunan pendidikan baik dalam proses alokasi, pelaksanaan,pelaporan dan pertanggungjawaban sesuai dengan kaidah-kaidah good governance.Hal tersebut perlu diperkuat dengan tersusunnya berbagai kerangka peraturan(regulatory framework) yang mengatur secara jelas dan terukur penyelenggaraanpendidikan di Indonesia.Upaya memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luarsekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan dilaksanakanmelalui penerapan pendidikan kecakapan hidup (life skill education) yang ditujukanuntuk memfungsikan pendidikan dalam mengembangkan potensi manusiawi pesertadidik melaksanakan peranannya di masa datang. Kecakapan yang dikembangkanmeliputi antara lain mengenal diri, yang juga sering disebut kemampuan personal,berfikir rasional, akademik, dan vokasional serta sosial. Melalui pendidikan tersebutpeserta didik diharapkan menjadi lebih beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YangMaha Esa, menjadi warga negara dan warga masyarakat yang membangun, memilikiVII – 6
kemampuan pemecahan masalah yang baik, dan memiliki kecakapan komunikasi danempati sebagai dasar dalam menumbuhkan hubungan yang harmonis dalamlingkungannya. Pada jenjang pendidikan menengah, kecakapan vokasional ataukejuruan peserta didik ditingkatkan sehingga lulusannya memiliki ketrampilan untukbekerja. Dalam pelaksanaannya masih dijumpai pendidikan kecakapan hidup yangterbatas pada ketrampilan vokasional saja. Pelaksanaan konsep pendidikankecakapan hidup perlu terus ditingkatkan agar peserta didik benar-benar memperolehkemampuan yang sesuai dengan masa pertumbuhan dan kebutuhan untuk menjalanihidupnya sehari-hari.Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memiliki peran strategisdalam pengembangan sumberdaya manusia. Terbentuknya iklim inovasi sebagaipertanda perkembangan iptek akan menjadi landasan bagi tumbuhnya kreativitassumberdaya manusia. Dalam Human Development Report tahun 2001 ditegaskanbahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) merupakan bagian darikomponen kualitas sumber daya manusia. Isu dorongan kreativitas dan penggunaanteknologi bagi perbaikan kualitas hidup menjadi isu utama yang diangkat dalamlaporan tersebut.Isu penguatan kapasitas teknologi dan diseminasi hasil-hasil litbangjuga diangkat sebagai indikator suatu bangsa dalam mencapai teknologi yangdipresentasikan dalam bentuk Index Pencapaian Teknologi/IPT (TechnologyAchievement Index). Indonesia masih pada urutan ke 60 dari 72 negara yang sudahdihitung IPT-nya. Hal tersebut menunjukkan iklim inovasi teknologi yang didasarkandorongan kreativitas masih belum menunjukkan kondisi yang kondusif.Dalam mendorong peningkatan kemampuan dan penguasaan teknologipermasalahan yang masih dihadapi adalah kurang fokusnya program penelitian danpengembangan sesuai dengan kebutuhan pasar. Hal tersebut menyebabkan tidaktermanfaatkannya hasil-hasil litbang secara optimal di masyarakat dan industri.Sampai saat ini sudah banyak hasil penelitian dan pengembangan (litbang) yangdihasilkan oleh masyarakat iptek. Namun demikian, masih banyak hasil iptek yangtidak terkatalogkan dengan sistematis dan tidak diketahui keterkaitan satu denganlainnya. Hal ini mengakibatkan sumbangan hasil riset iptek terhadap kemajuan iptekdan pemanfaatannya oleh masyarakat tidak nampak dengan jelas.Sejak tahun 2000 program pembangunan iptek telah difokuskan padapenguatan kapasitas lembaga iptek dalam bentuk perbaikan sistem pengelolaanlitbang, Kegiatan yang dilakukan antara lain penetapan program prioritas sesuaikompetensi inti lembaga, pelaksanaan mekanisme kompetitif dalam penetapankegiatan riset, perumusan konsep kelembagaan litbang, serta konsep penyempurnaanmekanisme pembiayaan penelitian. Fokus program bidang iptek juga dilakukanmelalui pengembangan program tematis unggulan dan strategis serta peningkatanpenelitian di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Selain itu juga telahdilakukan pemetaan potensi dan kemampuan pusat penelitian dan pengembanganserta peningkatan kerjasama penelitian antara lembaga litbang dengan lembagateknis, dunia usaha dan lembaga riset di luar negeri. Dalam rangka membentuk iklimyang kondusif bagi pengembangan sumberdaya iptek juga telah dilakukanpenyempurnaan sistem insentif iptek, peningkatan keterlibatan organisasi profesiilmiah serta mendorong upaya perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI).Dari berbagai kegiatan yang telah dilakukan, masih banyak kendala danpermasalahan yang dihadapi dalam meningkatan kapasitas litbang. Salah satupermasalahan utama yang dihadapi dalam pembangunan Iptek nasional adalahterjadinya idle capacity pada sisi penyedia, macetnya sistem transaksi, dan belumVII – 7
tumbuhnya sisi pengguna Iptek domestik. Idle capacity yang terjadi antara laindisebabkan oleh lemahnya sistem insentif dan sistem pembiayaan litbang. Sumberinsentif yang ada hanya bersumber dari dana pemerintah yang dinilai tidak cukupmampu memberikan dorongan bagi peneliti untuk melakukan pekerjaannya secaraprofesional. Selain itu sistem pembiayaan yang bersifat tahunan dinilai tidakkondusif bagi keberlanjutan suatu kegiatan litbang, selain juga akan menghambattumbuhnya keinginan untuk melakukan obyek penelitian yang berskala signifikandan strategis. Masalah lain adalah kegiatan litbang yang terlampau menyebar tidakkondusif untuk pencapaian hasil litbang yang signifikan. Derasnya impor produkteknologi yang secara mudah masuk ke pasar domestik juga dinilai cukupmenyulitkan bagi tumbuhnya pemanfaatan produk-produk litbang nasional.Sementara itu, belum tumbuhnya kegiatan litbang di industri menyebabkan bebanpenelitian yang bersifat terapan dan pengembangan yang semestinya dapatditanggung bersama antara lembaga litbang pemerintah (termasuk universitas) danindustri, terpaksa harus ditanggung secara sendirian oleh lembaga litbangpemerintah. Dalam jangka panjang hal tersebut cukup mengkhawatirkan bagiperkembangan ilmu pengetahuan nasional yang memerlukan kegiatan-kegiatanpenelitian yang bersifat dasar (basic research).Berkaitan dengan masalah tersebut, sumber daya iptek tidak dapatberkembang dan dikembangkan dengan baik. Di satu pihak pelaku tidak mempunyaidorongan untuk menghasilkan keluaran dengan baik dan berkualitas karena insentifuntuk melakukan riset tidak mencukupi. Di pihak lain, masyarakat tidak bersediamenyediakan insentif dan imbalan yang memadai karena sulit untuk memperkirakanhasil iptek seperti apa yang akan diperoleh dari penyediaan insentif dan investasi dibidang iptek ini. Di masa yang akan datang, penyebaran informasi hasil-hasilpenelitian perlu ditingkatkan.Berdasarkan keadaan dan permasalahan pembangunan pendidikan, padatahun 2004 langkah kebijakan pembangunan pendidikan pada tahun 2004 diarahkanuntuk: (1) peningkatan perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan denganmengutamakan upaya pencapaian target Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahunyang memberikan perhatian lebih besar pada kelompok miskin, penduduk yangtinggal di daerah perdesaan, dan pada provinsi-provinsi atau kabupaten/kota danKawasan Timur Indonesia yang memiliki partisipasi pendidikan dibawah rata-ratanasional melalui antara lain penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, penyediaanberbagai pendidikan alternatif, beasiswa bagi masyarakat miskin, dan bantuan biayaoperasional pendidikan bagi sekolah miskin yang pelaksanaannya tetapmemperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dan dengan melibatkan partisipasiaktif masyarakat; (2) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan yang disesuaikandengan kebutuhan masyarakat melalui antara lain peningkatan kualitas dankesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya, penyediaan sarana penunjangmutu pendidikan seperti buku dan peralatan pendidikan, penyusunan standarpelayanan minimal sampai tingkat kabupaten/kota, reposisi pendidikan kejuruan,penyempurnaan materi bahan ajar yang responsif gender; (3) melanjutkanpembaharuan sistem pendidikan melalui antara lain pengembangan kurikulum yangdapat melayani keberagaman peserta didik dan menjawab diversifikasi jenispendidikan secara profesional; (4) optimalisasi desentralisasi dan otonomipendidikan yang didukung dengan peningkatan partisipasi aktif masyarakat antaralain melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pendidikan berbasismasyarakat serta melanjutkan pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolahVII – 8
dan pengembangan kerangka peraturan untuk mendorong pengelolaan pendidikanyang menerapkan prinsip-prinsip good governance dengan mengedepankanakuntabilitas dan transparansi serta melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalampelaksanaan dan pengawasannya; (5) memantapkan penerapan paradigma barupendidikan tinggi yang memberikan kewenangan lebih luas kepada perguruan tinggidalam pengelolaan pendidikan secara bertanggung jawab dan terakunkan sebagaiaktualisasi otonomi keilmuan dan meningkatkan keikutsertaan masyarakat, duniausaha serta industri dan pemerintah daerah untuk mendukung peningkatan mutu danrelevansi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; (6)memberdayakan lembaga pendidikan sekolah dan luar sekolah sebagai pusatpembudayaan nilai, sikap dan kemampuan antara lain melalui pengembanganpendidikan kecakapan hidup, dan (7) mengembangkan pendidikan bagi anak diniusia secara lebih luas dan berkualitas melalui antara lain penyediaan pelayananpendidikan bagi anak usia pra sekolah dan meningkatkan pemanfaatan lembagalembaga lain seperti Posyandu dan Bina Keluarga Balita (BKB) dengan memberikanmuatan pendidikan yang disesuaikan dengan tumbuh kembang anak.Sementara itu, kebijakan pembangunan Iptek pada tahun 2004 diarahkanuntuk: (1) Penetapan fokus program iptek di bidang pangan, energi dan manufaktur,(2) Perumusan kebijakan pembangunan iptek selaras dengan kebijakan industri dankebijakan lainnya, (3) Penyempurnaan pola insentif dan pembiayaan litbang, (4)Pengembangan kelembagaan untuk meningkatkan kapasitas lembaga litbang danmemperlancar transaksi hasil litbang, (5) Peningkatan penelitian-penelitian untukmemecahkan persoalan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum, (6)Penguatan kompetensi inti lembaga litbang termasuk optimalisasi dan mobilisasipotensi SDM iptek, dan (7) Pengembangan Instrumen Analisis PencapaianTeknologi dalam bentuk statistik iptek dan indikator Iptek.Sasaran yang direncanakan akan dicapai dalam bidang pendidikan sampaidengan akhir tahun 2004 adalah: (1) Terwujudnya organisasi pendidikan di seluruhKabupaten/Kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, terakunkan(accountable), serta mendorong partisipasi masyarakat melalui pendekatanmanajemen berbasis sekolah (school based management) dan pendidikan berbasismasyarakat (community based education) dengan memperkuat Dewan Pendidikan ditingkat Kabupaten/Kota serta pemberdayaan Komite Sekolah di setiap sekolah atauarea yang lebih luas sesuai dengan kebutuhan; (2) Terwujudnya pengelolaanpendidikan yang mengintegrasikan pendidikan sekolah umum dengan sekolahagama, jalur pendidikan sekolah dengan jalur pendidikan luar sekolah, serta jenissekolah umum dengan jenis sekolah kejuruan; (3) Meningkatnya angka partisipasikasar (APK) SD dan MI mencapai 115,24 persen; SLTP-MTs mencapai 81,36persen; SMU-SMK-MA mencapai 49,01 persen; dan perguruan tinggi yangmencapai 15,29 persen, dengan penyebaran akses yang merata dan berkeadilandengan memberikan perhatian lebih besar pada kelompok miskin, dan provinsi ataukabupaten/kota dengan APK dibawah rata-rata nasional serta daerah perdesaan; (4)Terwujudnya otonomi pengelolaan perguruan tinggi yang bertanggung jawab dalammengelola pendidikan tinggi dan sumber daya yang dimiliki (5) Meningkatnyacakupan pelayanan pendidikan untuk usia prasekolah atau anak dini usia melaluitaman kanak-kanak, pusat pendidikan anak dini usia, dan lembaga-lembaga lain yangdiselenggarakan oleh masyarakat; (6) Menurunnya jumlah penyandang tiga buta(aksara latin dan angka, bahasa Indonesia dan pengetahuan dasar) terutama padakelompok usia 15-44 tahun, perempuan dan tinggal di daerah perdesaan; melaluiVII – 9
kegiatan pemberantasan buta aksara fungsional
Propenas 2000–2004 adalah: (a) angka partisipasi kasar (APK) sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (SD-MI) yaitu rasio jumlah siswa SD-MI terhadap penduduk usia 7–12 tahun sebesar 120,7 persen, (b) APK sekolah lanjutan tingkat pertama dan madrasah tsanawiyah (SLTP-MTs) atau rasio jumlah siswa SLTP-MTs terhadap